Senin, 31 Maret 2014 0 komentar

Menghindari segalanya.

Semuanya, iya semuanya telah aku lakukan untuk menghindarinya.
Menghindari perpecahan diantara kita.
Tapi pertanyaan pertanyaan ini terus membukit dibenakku.
Pertanyaan yang menguras akal sehatku setiapku memikirkannya.
.
.
Sampai kapan kita bertahan?
.
.
Kenapa hanya aku yang berusaha keras untuk mempertahankan kata kita diantara kamu dan aku?
.
.
Tak bisakah sedetik saja kamu mengerti perasaanku?

Aku sudah sampai pada klimaksnya
Apa yang harus kulakukan?
Aku yang terbiasa menahan perihnya.
Aku yang biasa menjadi angin bagimu, kini aku sudah memanas dan berubah menjadi el nino di kemaraumu.
Aku yang biasa diam dan menahan semuanya sendiri, aku mulai lelah.
Dan aku masih mempertanyakan
-
-
Sampai kapan aku menghindari segalanya?

0 komentar

Menghindari segalanya.

Semuanya, iya semuanya telah aku lakukan untuk menghindarinya.
Menghindari perpecahan diantara kita.
Tapi pertanyaan pertanyaan ini terus membukit dibenakku.
Pertanyaan yang menguras akal sehatku setiapku memikirkannya.
.
.
Sampai kapan kita bertahan?
.
.
Kenapa hanya aku yang berusaha keras untuk mempertahankan kata kita diantara kamu dan aku?
.
.
Tak bisakah sedetik saja kamu mengerti perasaanku?

Aku sudah sampai pada klimaksnya
Apa yang harus kulakukan?
Aku yang terbiasa menahan perihnya.
Aku yang biasa menjadi angin bagimu, kini aku sudah memanas dan berubah menjadi el nino di kemaraumu.
Aku yang biasa diam dan menahan semuanya sendiri, aku mulai lelah.
Dan aku masih mempertanyakan
-
-
Sampai kapan aku menghindari segalanya?

Jumat, 14 Maret 2014 0 komentar

Batu Karang yang Kau Hancurkan.


Akhirnya tanpa ku sadari aku sudah sampai pada titik ini. Titik dimana aku yang selama ini memperjuangkan segalanya harus menyerah. Cukup lama aku bertahan-berjuang yang terbaik untuk kita, tetapi kamu terus menghujamku dengan makian dan cacian untuk tidak peduli lagi pada kita. Berbagai alasan telah kau lontarkan- perbedaan ini, katamu aku terlalu sempurna, katamu aku dan kamu yang tak dapat menyatu, tetapi sampai detik ini masih kutanyakan pertanyaan yang sama- Bukankah kita adalah sepasang manusia, kita bukanlah air dan minyak atau air dan api yang tak dapat menyatu, maka itu kenapa kau selalu memaksaku mempercayai bahwa kita takkan menyatu? Apakah aku setidak berharganya itu hingga kau selalu menyisihkanku menjadi yang terakhir diurutan hidupmu? Kenapa selalu kamu yang ada dalam doaku, namun aku tak ada dalam doamu?


Ah, apakah semua alasan yang kau hempaskan padaku  hanya alasan agar aku tak mengganggumu lagi? bukankah itu hanya alasan yang kau ciptakan sedemikian rupa hingga membuatku terus merasa bersalah? Bukankah sudah kubilang aku takkan menyerah? Tapi kenapa untuk berdiri tegak di depanmu saja rasanya seperti menyusun kembali tulang rusuk yang sudah menjadi debu? Tersenyum di depanmu rasanya bagaikan ada pisau yang menulusuri setiap organ tubuhku? Kenapa berusaha terlihat di depanmu bagaikan berusaha menggenggam angin?


Kini aku rasa aku sudah menyerah pada kita, aku sudah tak mampu menjelma menjadi ruang kosong dalam hidupmu seperti yang kau inginkan. Aku tak mau lagi menjadi halte-tempat hatimu transit walaupun hanya sementara. Aku tak mau menjadi sapu tangan yang menghapus setiap tetesan air matamu, aku bahkan tak pernah menciptakan tetesan itu, tetapi kenapa aku yang harus sekuat tenaga menampungnya dan memindahkannya ke mataku hingga akhirnya aku yang menangis?Aku tak mau lagi dan tak akan berubah pikiran. Jangan salahkan aku jika kau butuhkan aku, aku takkan ada disisimu- sama seperti kamu yang tak pernah ada di sisiku.

.
.
Dan bukankah telah kukatakan padamu sayang? Batu karang sekuat, sekokoh-sekeras apapun jika diterjang arus ombak tempo hari, dapat kupastikan dia akan tergerus dan terbawa oleh ombak lautan menuju entah kemana- menuju ke ruang hampa tanpa tujuan- hanya dapat pasrah kemana ombak itu membawa.
.
.
Untukmu,
Seseorang yang pernah mengisi relung hatiku
Seseorang yang membawaku menuju kehampaan tiada berujung
Seseorang yang menggoreskan luka tiada akhir dihatiku
Sang Mantan.
 
;